![]() |
Anglumea – Dulu, interaksi sosial kita terbatas oleh geografi, waktu, dan sering kali oleh kebetulan. Sekarang, sebuah pertemuan bisa terjadi hanya dalam beberapa klik—di platform sosial, situs kencan, atau jaringan profesional. Algoritma memainkan peran sentral di dalamnya. Mereka menganalisis perilaku, preferensi, dan interaksi kita sebelumnya untuk “menawarkan” orang yang tepat, konten yang tepat, atau peluang yang tepat.
Namun, apakah aplogritma benar-benar membuat kita lebih dekat satu sama lain ? Apakah perantara algoritmis ini memperkaya hubungan kita atau justru menguranginya? Bahkan bisa dipertanyakan: ketika sebuah sistem membantu kamu bertemu seorang perempuan berambut pirang dan bermata biru sesuai kriteria favoritmu, apakah itu benar-benar pertemuan—atau hanya kecocokan data? Inilah yang akan kita telusuri.
Bagaimana Algoritma Membentuk Pertemuan Kita
Secara praktis, algoritma dirancang untuk memproses informasi dalam jumlah besar dan membantu kita menavigasi lautan profil, konten, atau produk. Tujuannya? Mengoptimalkan pengalaman kita dengan menampilkan apa yang menurut perhitungan mereka paling mungkin menarik bagi kita.
Mari ambil contoh aplikasi kencan. Di balik setiap saran profil, terdapat serangkaian operasi yang tak terlihat namun sangat canggih. Algoritma menganalisis antara lain:
- Lokasi geografismu (untuk memaksimalkan kemungkinan pertemuan dalam radius tertentu),
- Ketertarikan bersama (berdasarkan likes, bio, atau topik obrolan),
- Rentang usia yang kamu sukai,
- Interaksi sebelumnya (siapa yang kamu sukai, abaikan, blokir, atau berapa lama kamu menatap satu profil),
- Pola perilaku pengguna lain yang mirip denganmu (disebut juga klaster perilaku).
Pendekatanini bisa menghemat waktu secara signifikan dan menciptakan rasa relevansi yang nyata. Kita merasa dimengerti, bahkan “dilihat.” Dan ini tidak hanya berlaku dalam ranah percintaan: di LinkedIn, ini bisa berarti koneksi dengan perekrut atau mentor potensial; di TikTok, dengan kreator yang memiliki nilai yang sama; di Amazon, dengan produk yang cocok dengan kebutuhan kita bahkan sebelum kita menyadarinya.
Ilusi Kecocokan yang Sempurna
Namun di balik efisiensi ini tersembunyi suatu penyederhanaan. Ketika algoritma menyarankan kamu untuk bertemu perempuan berambut pirang dan bermata biru, ia hanya mencerminkan datamu: sebuah preferensi yang kamu masukkan secara manual, atau disimpulkan dari pilihanmu sebelumnya. Ia hanyalah cermin, bukan refleksi sejati.
Masalahnya, cermin ini bisa bias. Ia sering kali bertumpu pada kriteria yang tampak, eksplisit, dan kadang estetis. Ini mereduksi kekayaan manusia menjadi beberapa atribut, seolah cinta atau persahabatan bisa diprediksi dari lembar spesifikasi.
Padahal… beberapa pertemuan paling berkesan adalah yang awalnya tak terlihat “cocok.” Yang mengguncang harapan, pola, dan kerangka kita. Algoritma nyaris tidak memberi ruang untuk kejutan-kejutan semacam ini.
Keuntungan
Tentunya, di balik segala kerumitan teknologi, ada banyak hal positif yang bisa kita rasakan dari penggunaan algoritma dalam pertemanan dan interaksi sosial. Inilah beberapa keuntungan utamanya:
1. Pertemuan Lebih Terjangkau
Bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan atau terpencil, platform algoritmis bisa membuka peluang baru. Mereka membantu menembus batas geografis dan menemukan komunitas atau orang-orang dengan minat yang sama.
2. Efisiensi Sosial
Di dunia profesional, algoritma dapat menghubungkan para ahli, perekrut, pekerja lepas, atau rekan kerja potensial tanpa melalui jaringan formal. Ini mendemokratisasi akses ke peluang, terutama bagi mereka yang tidak berasal dari latar belakang istimewa.
3. Kenyamanan Psikologis
Ada rasa aman secara psikologis dalam keberadaan filter ini. Bagi orang yang cemas atau pemalu, menggunakan algoritma bisa menghindari situasi tidak nyaman atau penolakan langsung. Hubungan terjadi melalui semacam validasi awal.
Kerugian
Meskipun ada banyak hal positif yang bisa kita rasakan dari penggunaan algoritma dalam pertemanan dan interaksi sosial, namun ada juga kerugiannya. Inilah beberapa contoh kerugiannya:
1. Gelembung Filter (Filter Bubble)
Salah satu efek paling dikenal adalah “gelembung filter.” Platform hanya menampilkan hal-hal yang kita sukai, yang dapat mengurung kita dalam pandangan dunia yang homogen. Ini bisa menghambat keberagaman pandangan, membatasi diskusi, dan memperkuat bias yang ada. Dalam cinta maupun politik, ini bisa menjadi hambatan serius untuk saling memahami.
2. Ekonomi Perhatian
Algoritma tidak selalu mencari kesejahteraan kita, melainkan keterlibatan kita. Mereka dioptimalkan agar kita tetap terhubung—kadang dengan mengorbankan waktu atau kesehatan mental. Ini bisa menyebabkan stimulasi berlebihan, perbandingan terus-menerus, dan rasa kesepian yang paradoksal.
3. Dehumanisasi Pertemuan
Akhirnya, ada risiko pertemuan menjadi bentuk konsumsi. Kita “menggeser” profil seperti berbelanja. Ini bisa mengurangi empati, kesabaran, dan niat untuk meluangkan waktu membangun hubungan yang autentik.
Apa yang Tidak Dilihat oleh Algoritma
Algoritma memang unggul dalam mengenali tren, perilaku, dan pola. Tapi mereka tidak melihat semuanya:
- Algoritma tidak memahami nuansa emosional.
- Algoritma tidak menangkap keajaiban tak terduga dari sebuah pertemuan.
- Algoritma tidak bisa membaca antara baris atau mengartikan keheningan.
Algoritma beroperasi berdasarkan data masa lalu dan yang sudah ada, sementara hubungan manusia terus berkembang. Apa yang kita inginkan hari ini belum tentu yang kita cari besok.
Menuju Koeksistensi yang Lebih Seimbang
Lalu, haruskah kita menghindari algoritma? Tidak juga. Yang dibutuhkan adalah mengambil kembali sebagian kendali atas penggunaannya. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Diversifikasi sumber: bukalah dirimu terhadap konten atau orang di luar rekomendasi feed.
- Lambatkan konsumsi: luangkan waktu untuk memperdalam interaksi.
- Ingat bahwa orang bukan sekadar profil: setiap individu adalah dunia, bukan lembar spesifikasi.
Kedekatan yang Perlu Didefinisikan Ulang
Algoritma bisa menjadi alat luar biasa untuk mempertemukan orang. Mereka dapat memangkas jarak, memudahkan pertemuan, membuka cakrawala baru. Namun mereka tidak menggantikan intuisi, emosi, atau kerja membangun hubungan.
Mungkin pertanyaannya bukan apakah algoritma membuat kita lebih dekat, tapi bagaimana kita memilih untuk menggunakannya. Apakah kita membiarkan mereka memutuskan untuk kita? Atau justru menggunakannya untuk menjangkau orang lain dengan rasa ingin tahu, keterbukaan, dan tanggung jawab?
Bisa jadi, di ketegangan inilah kunci dari hubungan yang lebih manusiawi.
Kesimpulan
Algoritma memang mampu mempercepat dan mempermudah pertemuan antarindividu, baik dalam konteks sosial, profesional, maupun romantis. Mereka menawarkan efisiensi, aksesibilitas, dan kenyamanan psikologis. Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat risiko homogenisasi, dehumanisasi, dan bias yang menyederhanakan kompleksitas hubungan manusia.
Pertemuan yang bermakna sering kali lahir dari ketidakterdugaan dan keterbukaan terhadap perbedaan—hal-hal yang sulit ditangkap oleh sistem berbasis data masa lalu. Maka, daripada menyerahkan kendali sepenuhnya pada algoritma, kita perlu menggunakannya secara sadar: sebagai alat bantu, bukan penentu.
Kedekatan sejati tidak dibentuk oleh kecocokan statistik, melainkan oleh keinginan untuk benar-benar mengenal, mendengar, dan hadir bagi satu sama lain. Di sanalah letak sisi paling manusiawi dari setiap hubungan.